Tuesday 13 May 2014

Why Can I Let You Go

Why Can I Let You Go
Author       : JongYi Hope Angel
Title           : Why Can I Let You Go
Genre        : Romance, sad
Length       : Freelance
Main Cast :
*) Oh Sehun aka Sehun
*) Park Rin Rin aka Rinrin
Other Cast : Find it by  yourself~
Disclaimer : Copast tanpa kredit? HIDUP ANDA TIDAK AKAN PERNAH TENANG!
“ Noona, mianhaeyo. I can’t kept my promise.” – Oh Sehun
Oh Sehun POV
Hari semakin gelap dan aku masih saja menunggu di cafe ini. Bahkan kopi yang kupesan tadi sekarang sudah tidak mengeluarkan asap lagi. Sepertinya hanya tinggal aku dan seorang barista di sini. Tiga jam sudah aku menghabiskan waktu di sini, mungkin dia tidak akan datang lagi. Meskipun ia yang memintaku menunggunya di sini, dia bisa saja menggagalkan rencananya sendiri. Dia terlalu sibuk dengan dunianya.
Hujan deras akhirnya mengguyur jalanan yang tidak akan pernah kosong. Satu per satu orang berlarian untuk melindungi diri mereka dari hujan yang sangat lebat. Sekali lagi, aku hanya berdiam diri sendiri di sini. Hanya dengan sebuah ponsel di depan mataku. Aku merangkai kata-kata lalu aku menghapusnya lagi. Begitu seterusnya. Akhirnya aku hanya bisa menulis, ‘ Mianhae, aku pulang duluan. Ini sudah sangat gelap.’ Aku langsung mengirim pesan pendek itu dan bergegas pergi ke apartemenku.
Dengan menggunakan jaket hitamku, aku berlari mengejar bus yang sepertinya sudah akan pergi lagi dari halte dekat cafe. Aku merasa beruntung karena aku masih mendapatkan bangku kosong di bus, lebih tepatnya di samping teman wanitaku yang sepertinya mendapatkan kelas malam. Tidak ada pembicaraan sama sekali antara kita, ia terus memasang headsetnya dan melihat ke arah luar.
‘ Gwaenchana, pulanglah. Tidur yang lelap, aku berjanji padamu akan membelikan sarapan untukmu besok pagi~~ Saranghaeyo Hunnie~~’. Ternyata balasan dari seorang wanita yang bisa kupanggil sebagai kekasihku. Bahkan aku sudah menghapal balasannya dan aku sudah tahu hal apa yang akan ia lakukan esok. Ia akan datang, membangunkanku, memberikan sarapan, menyiapkan bajuku, mengecupku hangat, lalu pergi lagi. Sebenarnya aku tidak merasa ia seorang kekasihku sekarang, tetapi aku merasa dia adalah Noonaku.
Meskipun umur kami tidak terpaut terlalu jauh, aku hanya dua tahun lebih muda daripadanya dia selalu menganggapku seperti anak kecil. Entah ada hal apa, dulu aku sangat menggilainya. Bahkan aku selalu sengaja terjatuh ketika futsal agar aku bisa bertemu dengannya. Akupun mengikuti langkahnya memasuki dunia kedokteran, meskipun ia masuk lebih awal daripada aku.
Untuk sekarang ini aku berpikir lagi hal apa yang membuatku begitu mencintainya dulu? Aku merasa rasa yang dulu pernah aku punya menghilang begitu saja bersama angin kecil yang entah membawanya kemana. Berkali-kali aku berusaha mencari rasa itu lagi, justru aku merasakan hal lain.
Apartemenku sudah ada di depan mata, tinggal memasukan password dan aku bisa tertidur pulas di dalam sana. Di kamar, aku langsung tertidur begitu saja tanpa membuka sehelai benangpun dari tubuhku. Sepertinya aku kelelahan karena kegiatan hari ini.
***
Berkas-berkas cahaya putih menimpa mataku sehingga aku membuka mataku. Aku melihat-lihat ke sekeliling apartemen, tidak ada Rin Noona. Tidak biasanya dia telat terbangun, biasanya ia akan duduk di sampingku sambil mengocekan susu untukku. Mungkin ia lupa karena tugasnya menjadi dokter.
Aku berjalan mengambil air putih karena kerongkonganku terasa sangat kering. Lalu aku melangkah lagi ke arah jendela apartemen, tapi ada sesuatu yang mengganjalku. Aku berjalan mundur lagi dan melihat kalender. Tanggal delapan diberi warna merah olehku. Apa ini? Ternyata hari jadi kami yang keenam tahun. Biasanya Rin Noona akan datang dan menyampaikan beberapa patah kata sebagai tanda kalau ia senang bisa melewati masa itu dengan mudah. Tapi hari ini ia tidak datang.
Aku bergegas mandi dan berangkat ke kampus lagi. Hari ini aku pergi seperti biasa menggunakan bus. Tidak ada yang spesial di bus, hanya jalanan dengan gedung-gedung memenuhi pinggir jalan. Aku menatap ponselku, tidak ada pesan masuk sama sekali. Tanganku menyentuh kontak bernama Rin lalu menyentuh tanda telepon. Entah kenapa aku sedang ingin bertemu dengannya hari ini.
“ Noona, eoddiseo?” Tanyaku tanpa ada basa basi sama sekali.
Mianhae, pasienku membutuhkanku. Tapi hari ini aku ada jam mengajar di kampus, tenang saja.” Balasnya dengan suara yang sangat manis.
“ Na gwaenchana, Noona-ya. Tapi aku ingin bertemu denganmu, makan siang di cafe.” Lagi-lagi aku tidak bisa berbasa basi sedikitpun.
Ne, arraseo. Aku pasti datang. Hunnie, saranghaeyo~” Masih dengan suara yang sama seperti sebelumnya.
“ Nado saranghae, Rin Noona.” Aku langsung menutup telepon.
Entah kenapa, suara Rin Noona selalu saja bisa menaikan moodku. Mungkin ini yang membuatku selalu bertahan, tapi aku juga sering merasa lelah dengan sifatnya yang terlalu dewasa.
Jam pertama berjalan dengan baik. Break time aku isi dengan mengerjakan tugas yang belum aku selesaikan. Berlanjut lagi ke jam ketiga sekaligus juga jam terakhirku hari ini. Hingga waktu makan siang, kelas belum dibubarkan sama sekali. Rin Noona pasti sudah menungguku di cafe. ‘Hunnie, apa masih lama? Kalau tidak aku akan memesankan makanan untukmu dulu.’ Aku membuka ponselku tepat ketika kelas dibubarkan.
Di cafe terlihat Rin Noona yang sudah menikmati makanannya terlebih dahulu. Dengan gerakan cepat, aku langsung memasuki cafe dan duduk berhadapan bersamanya. Rin Noona hanya memberikan senyum kepadaku lalu memakan makanannya lagi.
“ Noona, kenapa kau mendahului aku?” Tanyaku membuyarkan suasana.
“ Sebenarnya masih ada pasien yang harus kuurus.” Balasnya sambil menatapku lembut, tangannya masih menarik-narik mie dari mangkuknya.
“ Apa kau menghindar dariku, Noona? Kenapa kau selalu sibuk di rumah sakit? Apa kau sudah tidak memedulikanku?” Tanyaku bertubi-tubi tanpa memberikannya ruang untuk membalas.
“ Aniyo.  Jika kau sudah lulus nanti, kau akan mengerti mengapa aku selalu seperti ini. Bahkan di rumah sakit aku selalu memikirkanmu, bagaimana caranya kita bisa berkencan dan berjalan berdua lagi.” Jelasnya, dan sekarang ia tidak memberikan ruang untukku membalas atau menyangkal tutur katanya.
“ Ah, kau selalu mengatakan itu.” Aku memakan mieku lahap.
“ Hunnie, aku ingin kau menjadi dokter yang sesungguhnya. Kalau aku sakit parah, kau harus berjanji padaku kaulah yang akan menanganiku.” Rin Noona menaruh sumpitnya karena memang ia sudah selesai menghabiskan makanannya.
“ Aku akan mengusahakannya.” Balasku asal.
“ Hunnie, aku harus pergi. Annyeong, chagi.” Ia mengecup bibirku dengan gerakan yang sangat cepat.
Aku menghabiskan mieku lebih cepat dari biasanya. Hari ini harusnya aku bekerja di toko buku. Karena keinginan untuk mandiri dan untuk pembuktian kepada Appa juga, aku rela bekerja part time setiap harinya. Setidaknya dengan bekerja juga akan mengisi waktu kosongku, walaupun agak sedikit melelahkan.
Aku berjalan keluar cafe dengan merapikan kemejaku dulu. Tetapi kegaduhan terjadi tepat di depan cafe. Orang-orang seperti mengelilingi sesuatu. Aku penasaran dengan apa yang terjadi, lagipula hanya tinggal beberapa bulan lagi aku akan mendapatkan gelar dokterku, jadi sekiranya aku bisa memberikan pertolongan pertama jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku menyisiri kerubunan orang-orang yang semakin lama semakin penuh dan menyesakan. Akhirnya aku bisa melihat apa yang terjadi.
“ Rin Noona?” Aku membulatkan mataku ketika aku menyadari siapa yang sedang tergeletak di sana.
Aku berlari mendekati Rin Noona. Aku pangku kepalanya yang masih mengeluarkan darah dengan derasnya. Wajahnya terlihat sangat pucat yang kuyakini karena kekurangan darah. Tangannya masih bisa digerakan tapi dalam keadaan tidak sadarkan diri.
“ Noona-ya, kau bisa mendengarku?” Aku membisikan kata-kata di telinganya dan dibalas dengan anggukan lemas dari kepalanya. “ Noona, saranghaeyo~” Lanjutku dengan suara lebih lembut dari tadi.
“ Hunnie, mianhada. Aku tidak bisa menemanimu lagi. Nado, saranghaeyo.” Suaranya terdengar semakin melemah. Aku mempererat pelukanku. Aku tidak ingin kehilangan Rin Noona, bagaimanapun juga aku masih sayang kepadanya.
Aku menahan darahnya yang masih saja mengalir. Aku menciumi keningnya, tapi apalah daya. Dia semakin lemas, dia benar-benar sudah tak berdaya.
***
“ RIN NOONA!” Aku berteriak dan akhirnya aku bangun dari tidur nyenyakku.
“ Ne?” Aku mendengar balasan dari arah dapur.
Aku langsung bangun dari tidurku dan berlari ke arah sumber suara. Rin Noona tampak sedang merapikan meja makan. Tanpa melihat keadaannya sama sekali, aku langsung memeluknya hangat dari arah belakang. Aku menciumi pipinya berkali-kali, Rin Noona hanya membalasku dengan senyuman manisnya. “ Waeyo?” tanyanya sambil mengusapi punggung tanganku.
“ Jebal, gajima.” Aku masih menciumi pipinya tapi kini aku mengeluarkan air mataku. “ Jjinjja jeongmal saranghaeyo~” Aku semakin mempererat pelukanku.
“ Ne, aku akan selalu ada untukmu.” Ia memegangi tanganku yang terus saja ada di pinggangnya. “ Kau ada jadwal?” Tanyanya sambil menatapku.
“ Ada. Tapi aku sedang ingin bersamamu, biarkan saja.” Aku masih saja memeluknya seperti seorang anak kecil yang ditinggal Eommanya bertahun-tahun.
Rin Noona melepaskan pelukanku lalu mengambil sebuah mangkuk berisi bubur jagung kesukaanku. Ia mengambil sebuah suapan dan memberikannya padaku. Jarak kami saat ini menjadi sangat dekat, jadi suapan itu langsung masuk ke mulutku. Sekarang aku memeluknya dari arah depan. Bagaimana aku bisa hidup tanpa seorang Rin Noona? Sekarang aku sadar, di balik rasa kesalku kepadanya masih ada rasa sayang kepadanya yang lebih besar dari apapun itu.
Ia melihat jam tangan lalu ia melepas pelukanku. “ Aku harus pergi.” Ia mengecup pipiku pelan lalu melangkah pergi. Ternyata langkahku jauh lebih cepat daripada langkahnya. Aku langsung memeluknya untuk menahannya agar ia tidak pergi. Aku terus mempererat pelukanku.
“ Noona-ya, hari ini saja.” Aku meminta seperti seorang anak kecil lagi. “ Haruman.” Lagi aku menatapnya dengan tatapan anak kecil.
“ Gurrae. Aku akan menemanimu Hunnie.” Ia memegang hidungku yang agak merah.
***
Hari ini aku putuskan untuk mengajaknya menghabiskan waktu di cafe. Di cafe ini kami bisa bernyanyi, tepat di sampingnya ada sebuah taman kecil dengan dua buah ayunan yang berdekatan.
Kami menyumbangkan lagu yang biasa kami nyanyikan berdua di cafe ini. Sedikit tawa diantara kita berdua. Lalu kami berlanjut untuk bermain di taman kecil itu. Ia langsung menaiki ayunan dan memintaku untuk mendorongnya dengan sangat kencang. Aku mendorongnya sambil tertawa bersamanya, lalu kuhentikan ayunannya lalu kupeluk lagi ia dengan sangat erat.
“ Hunnie, bagaimana kalau ini hanya mimpimu?” Tanyanya sambil menahan tanganku.
“ Tidak mungkin, ini bukan mimpi.” Aku membalas lagi sambil menciumi lehernya.
“ Aku hanya bertanya Hunnie.” Ia terus saja menatapku sekarang.
“ Kalau ini hanya mimpi, aku tidak ingin terbangun dari mimpiku.” Aku membalas sebisanya aku.
“ Hunnie, bangunlah~ Ini hanya sebuah mimpi.” Ia menepuk-nepuk pipiku lembut.
“ Aniyo. Ini bukan mimpi, Noona.” Aku memegangi tangannya yang berada di pipiku.
“ Ireona-ya, ireona~” Ia kini mengecup pipiku. “ Hunnie, aku harus pergi. Satu hal yang harus kau tahu, aku benar-benar mencintaimu lebih  dari aku mencintai diriku sendiri.” Ia mengecup bibirku hangat.
Tangannya melepas pelukanku yang masih bertahan di pinggangnya. Ia melangkah jauh sambil melepas jaketnya. Gaun putih itu kini terlihat di mataku, ia berjalan menjauh, semakin jauh, semakin jauh. Ia menatapku sebentar lalu menyunggingkan senyumnya, lalu ia melangkah pergi lagi dan ia ditelan oleh kabut yang sangat tebal di persimpangan jalan.
***
Aku membuka mataku dan menyadari aku sedang tertidur di samping Rin Noona. Di badannya sudah terpasang berbagai macam alat bantu napas dan pendeteksi detak jantung. Kini aku sadar yang mana dunia mimpi dan yang mana dunia nyata. Aku menatap Rin Noona dengan alat bantu napas yang menutupi hidungnya. Aku menggenggam tangannya yang sudah terdapat inpus yang menancap di tangannya. Aku menggenggamnya erat tatkala saat itu justru aku mengeluarkan air mataku. Aku mengusap rambutnya yang agak berantakan, tapi aku masih saja menangis.
Terdengar pendeteksi detak jantung berbunyi. Bunyi yang menandakan kalau jantung Rin Noona sudah tidak berdetak lagi. “ Dokter! Suster! YA! JEBAL!” aku berteriak-teriak sambil berlari mencari suster yang bisa menolong Rin Noona.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan dokter yang seingatku dokter yang menangani Rin Noona. Aku langsung menariknya untuk melihat keadaan Rin Noona. “ Jebal, kau tidak boleh membiarkannya pergi. Sunbaenim, jebal.” Aku terus mendesak dokter karena keadaanku kini yang sangat ketakutan.
Dokter langsung memasuki ruangan lalu disusul dengan suster-suster yang berada di belakangnya. Aku terduduk lesu di ruang tunggu sambil mengingat setiap perkataan yang pernah diucapkannya. Aku juga mulai mengingat peristiwa-peristiwa yang aku lewati bersamanya. Meskipun itu sudah berlalu beberapa tahun yang lalu, aku masih mengingatnya. Aku memainkan tanganku sampai sedikit berdarah.
Dokter berjalan keluar dengan tatapan yang bisa kubaca. “ Gwaenchana. Biarkan saja dia pergi, gwaenchana.” Aku berkata sebelum dokter selesai dengan ucapannya. Aku menahan tangisku yang sudah terbendung di kantung mataku. Sehingga penglihatanku menjadi sangat buram.
Rin Noona benar-benar mencintaiku, aku tahu itu. Dia tidak benar-benar meninggalkanku. Dia masih di sini untuk menemaniku, dia sudah berjanji untuk melakukannya. Dia pasti hanya sedang tertidur tetapi di tempat yang berbeda. Dia pasti sedang bersenang-senang di sana sambil menungguku.
“ Rin Noona, saranghaeyo.” Aku mengecup keningnya yang terasa sangat dingin.
Noona, aku janji aku akan selalu mencintaimu. Aku janji aku akan menjadi seorang dokter yang peduli dengan keadaan pasien. Aku janji akan menjadi seorang yang mandiri yang tidak mengandalkan siapapun. Dan aku janji, aku akan menjaga hatiku untukmu. Aku mencintaimu.
~~oOo~~
Selesai juga, dan sebenernya ini terinspirasi dari video clip In Heaven sama film Humming. Jadinya ya begini, maaf kalau ga bikin keluarin air mata. Soalnya authornya lagi ga galau, kalau kalian galau mungkin agak greget sedihnya. Oya, author kan baca ulang ceritanya sambil dengerin lagunya IU yang The Story Only I  Didn’t Know. Jadi rasanya lumayan nyampe juga. Tapi kalau ganyampe, coba galau deh. Kayanya sih bakalan nyampe. Maaf kalau author selalu bikin cerita yang sadness atau sad ending gini, soalnya bahasa author puitis. Maafkan ._.v

Tuesday 1 April 2014

Stay With Me, jebal!

Stay With Me, Jebal!
Author           : JongYi Hope Angel
Title                : Stay With Me, jebal!
Genre             : Romance
Length            : Freelance
Main Cast      :
·         Park Ah Rin aka Airin
·         Kim Jong In aka Kai
Other Cast     : Find it by yourself!^^
Rating            : 15++
Disclaimer      : Hak cipta dilindungi oleh pasal. Kalau mau cerita ini nama authornya JongYi Hope Angel, jangan percaya author lain. Bukan masalah apa-apa, author itu susah meresapi ide author. Kalau copast itu gampang, tapi menuangkan ide itu susah! Arra?
Aku datang hanya untuk ini, maafkan aku.” – Kim Jong In
Kim Jong In POV
          Aku memeluk hangat yeoja berambut panjang lurus berwarna hitam ini. Ia menangis sesenggukan tanpa mau melepas pelukanku. Wajahnya ditenggelamkan di dadaku, badannya yang bergetar karena menangis terasa mengenai hatiku. Aku ikut mengeluarkan air mataku, aku semakin merasa bersalah kepadanya. Maafkan aku karena hadir di saat yang tidak tepat.
          “ Aku datang hanya untuk ini, maafkan aku.” Ucapku sambil semakin mempererat pelukanku.
          “ Jebal, tetap di sini. Bisakah kau tetap bersamaku?” Ia membalas dengan suara sedikit bergetar.
***
          Aku menatap yeoja yang sedang merapikan rambutnya dari kejauhan. Aku tahu ia tidak bisa melihat, tapi aku takut ia menyadari akan keberadaanku. Bagaimanapun juga ia bisa melihatku dengan menggunakan hatinya. Jadi aku hanya terus menatapnya dari kejauhan.
          Aku sudah tidak bisa memendam rasa ini lagi, aku mengumpulkan semua keberanianku. Aku langkahkan kakiku mantap, meskipun hatiku agak degdegan. Tanpa menatapnya sama sekali aku langsung duduk di sampingnya.
          “ Airin-ssi.” Aku memanggilnya sambil menggenggam tangannya lembut.
          “ Nuguseyo?” Ia menatapku. Tiba-tiba tatapannya menjadi sangat dalam, ia mengelus pipiku sambil terus memandangku bingung. “ Kai? Aku bisa melihatmu?” Tanyanya sambil terus mengelus pipiku.
          “ Ne? Aku ingin mengatakan sesuatu.” Aku menggenggam tangannya yang masih di pipiku.
          “ Tapi aku hanya bisa melihatmu saja. Aku tidak bisa melihat hal lainnya.” Ia terus menatapku.
          “ Aku akan menceritakannya ketika kau siap.” Sekarang aku yang mengelus pipi Airin. “ Kau tahu, Aku akan setia menjadi sahabatmu. Tapi sepertinya aku akan melanggar itu, karena aku~ aku~ aku mencintaimu.” Aku menatapnya lagi.
          “ Tanganmu dingin. Aku...” Aku langsung mengecup bibirnya hangat lalu langsung melepasnya. “ Kai?” Tanyanya sambil memegangi bibirnya.
          Aku mengecup keningnya lalu meninggalkannya yang sedang kebingungan. “ Airin, saranghae~~ Besok aku akan menjemputmu untuk berkencan!” Aku berlari santai sambil menyunggingkan senyumku.
Park Ah Rin POV
          Aku mengatur detak jantungku yang dibuat bergetar sangat kencang oleh Kai. Bagaimana bisa aku hanya bisa melihatnya? Ia bercahaya di dalam kegelapan seperti seorang malaikat. Apa ini cinta sejati? Rasa yang sangat tulus?
          Aku menatapnya, hanya ia yang terlihat. Langit gelap, dunia gelap, aku hanya bisa menatapnya. Aku rindu akan wajahnya yang selalu bisa membuatku tersenyum tidak jelas setiap harinya. Tujuh tahun ini aku hanya bisa membayangkan wajahnya yang masih lugu, dia yang tidak setampan ini. Apa itu kau Kai?
          Kai, banyak hal yang ingin kutanyakan padamu. Kemana kau selama tujuh tahun ini? Apa kau malu mempunyai sahabat buta sepertiku? Atau kau ingin melupakan aku? Lalu kau datang hanya untuk memberitahu perasaanmu kepadaku? Apa kau tahu tujuh tahun menunggumu, lebih dari itu aku mencintaimu. Apa setelah ini kau akan meninggalkanku lagi? Apa begitu?
          Sudah cukup duniaku gelap karena kebutaanku. Sudah cukup aku meratapi diriku yang tidak bisa melihat, yang menjadi hinaan dan cercaan banyak orang. Sudah cukup aku melindungi diriku sendiri dari segala kemungkinan yang akan terjadi padaku. Apa kau ingin membuatnya lebih parah?
          Sudah cukup aku menunggumu selama tujuh tahun ini. Cukuplah juga wajahmu terbayang di otakku, aku rindu padamu. Apa kau datang hanya untuk sementara ini? Hanya agar bisa membuatku tahu bagaimana perasaanmu itu? Kai, aku mohon kau harus selalu ada di sampingku. Tidak ada lagi pergi, tidak ada lagi kata meninggalkan.
          “ Kai, eoddiga? Jangan tinggalkan aku.” Aku menangis setelahnya.
          Entah kenapa setiap mengingatnya aku selalu ingin mengeluarkan air mataku. Apa karena aku terlalu mencintainya? Kai, eodiie? Jebal.
***
          Aku menunggu Kai untuk datang menjemputku. Seperti janjinya kemarin ia akan mengajakku ke suatu tempat yang menyenangkan. Aku harap ia akan selalu ada di sampingku untuk menjagaku dan melindungiku.
          “ Airin? Kau sudah menungguku lama?” Ia datang berjalan sambil membawa sebuket bunga.
          Aku masih tidak bisa percaya kalau aku bisa melihat Kai dengan mataku sendiri. Tapi aku juga masih bingung, kenapa hal lain yang aku lihat masih berlatar hitam? Hanya Kai saja yang bisa terlihat jelas di mataku. “ Ah, ani~ Aku baru selesai memakai sepatuku.” Aku membalas sambil tersenyum tidak jelas.
          “ Aku ingin membawamu ke tempat yang sangat tenang.” Kai langsung menarik tanganku.
          Dia terus menarikku dan berhenti di suatu tempat. “ Kita akan menaiki bus untuk sampai ke tempat itu.” Jelasnya sambil terus menggenggam tanganku. Suara bus terdengar jelas di telingaku, ia menarikku untuk menaiki bus itu.
          Ia mengambil tasku dan mengambil ponselku. Ia memasang headset di telinganya dan memasang satu headsetnya lagi di telinga kiriku. Dari ponselku terdengar lagu yang baru aku dengar. Dan sepertinya itu suara Kai. “ Kalau kau merindukanku, putar lagu ini.” Ia tersenyum lalu menggenggam tanganku erat.
          Di perjalanan Kai hanya membuang mukanya tidak menatapku sama sekali. Dari sudut pandangku, sepertinya Kai mengeluarkan air matanya. Berulang kali ia berusaha menutupi tangisnya namun masih terlihat jelas di mataku kalau ia menangis.
Kim Jong In POV
          Air mataku keluar dengan sendirinya tanpa aku perintah. Sebenarnya aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya ia bila aku benar-benar pergi meninggalkannya. Sisa waktu yang diberikan hanya tersisa hari ini sampai besok. Apa aku bisa menyampaikan semua yang ingin kusampaikan padanya selama dua hari ini?
          Aku semakin mempererat genggaman tanganku pada Airin, aku akan mengajaknya ke tempat dimana ia bisa mengingatku ketika ia sedang merindukanku.
          “ Oppa, wae?” Tanyanya sambil memegangi pipiku lembut. “ Kau menangisi apa?” ia masih penasaran.
          “ Airin, kalau aku pergi meninggalkanmu, apa yang akan kau lakukan?” Tanyaku balik sambil menahan tangisku.
          “ Aku~ Aku akan ikut pergi bersamamu.” Jawabnya sambil memasang senyumnya mantap.
          “ Kalau ternyata namja yang berada  di hadapanmu ini sudah meninggalkanmu ke surga, apa kau akan pergi meninggalkan namja itu?” Aku menanyakan hal yang sepertinya agak sedikit konyol di telinganya.
          “ Tidak akan pernah. Aku akan selalu mencintaimu.” Jawabnya sambil menitikan air matanya.
          Aku tidak bisa melihatnya menangis jadi aku langsung memeluknya. Aku ikut menangis di pelukannya. Ternyata kami sudah hampir sampai di tempat yang aku maksud tadi. Tanganku langsung menyentuh tombol merah satu kilometer sebelum sampai di tempat itu.
          Bus terhenti tepat di tempat yang kuinginkan. Sebenarnya ini adalah pemakaman. Ini adalah tempat peristirahatanku.
          “ Kai ini dimana?” Tanyanya sambil berusaha meraba tempat di sekitarnya. “ Apa ini taman bermain?” Tambahnya lagi sambil tersenyum sumringah.
          “ Ini pemakaman.” Jawabku dan wajahnya langsung berubah 1800. “ Ada yang harus kuceritakan padamu.” Lanjutku sambil menariknya menuju empat peristirahatan terakhirku.
          “ Maksudmu?” Ia masih tidak mengerti dengan ucapanku.
          Aku menuntun tangannya untuk menyentuh nisanku. “ Ini nisanku.” Aku tersenyum. “ Aku sudah pergi.” Lanjutku sambil menyunggingkan senyum lagi.
          “ Kau?” Ia berusaha menahan tangisnya. “ Ceritakan apa yang ingin kau ceritakan itu.” Pintanya dengan suara bergetar.
          Tujuh tahun yang lalu akuu mendapat berita kalau kau mengalami kebutaan karena kecelakaan ketika hendak pergi ke rumahku. Sebenarnya waktu itu aku hanya ingin memberitahumu kalau aku harus studi ke luar negeri. Ketika aku tahu kau buta, saat itu juga aku harus langsung pergi. Aku ingin mencapai cita-citaku, jadi aku langsung pergi mengejar cita-citaku. Di sana justru aku selalu memikirkanmu, itu yang membuatku susah untuk mengejar kata lulus. Akhirnya seminggu yang lalu aku memilih untuk pulang ke Seoul. Tapi cuaca sedang tidak baik ketika pesawat hampir sampai ke Incheon. Pesawat itu kehilangan sinyal dari Incheon, bahan bakar pesawat juga sudah habis. Pesawatku terjatuh di suatu tempat.
          Waktu itu sebenarnya aku membawa kotak merah yang berisi cincin bertahtakan berlian yang kubeli di sana. Tapi tidak ada pertolongan yang datang juga, tidak ada nyawa yang bisa diselamatkan dalam tragedi itu. Hanya seorang anak kecil yang duduk di sampingku sambil memegangi tanganku.
          Aku pulang untuk melamarmu menjadi istriku. Tapi takdir berkata lain. Aku harus pergi meninggalkanmu. Tetapi suatu hari aku mendapatkan kesempatan untuk meminta satu hal sebelum aku benar-benar pergi, akhirnya aku meminta agar aku bisa bertemu denganmu dan memberitahumu bahwa aku sangat menyayangimu. Aku diberi waktu sampai besok, tapi jika hari ini semua hal yang aku inginkan itu sudah terpenuhi, hari ini juga aku harus pergi. Jangan menangis ya, aku akan selalu menunggumu di surga untuk menjadi bidadariku.
          “ Kai~” Ia menangis setelah mendengarnya.
          “ Maafkan aku. Dan jika aku benar-benar telah pergi, datanglah ke rumah sakit mata di Seoul. Aku sudah mendonorkan mataku untukmu.” Aku memasang senyumku hangat.
          Dari arah nisanku terbentuk seberkas cahaya. Benar saja kalau aku harus pergi meninggalkan Airin sekarang. Airin masih menangis sejadinya. Aku memeluknya hangat tapi ia menahan pelukanku agar tidak meninggalkannya. “ Bahagialah, di sana pasti aku bahagia.” Ucapku sambil melepas pelukannya. Kakiku melangkah ke arah cahaya itu mantap. Tidak ada keraguan, hanya ada senyuman yang diselingi dengan tangis bahagia.
Park Ah Rin POV
          “ Permisi, kau Park Ah Rin?” Tanya seseorang sambil menyentuh pundaku.
          “ Ne, aku Airin.” Aku berusaha memasang senyumku di balik tangisanku.
          “ Aku Do Kyung Soo. Aku dokter penanggung jawab Jong In.” Ia mengucapkannya lembut. “ Kita harus melaksanakan operasi itu segera.” Lanjutnya tegas.
          “ Apa yang kau maksud donor mata?” Aku memasang senyum termanisku. “ Dengan senang hati.” Aku melanjut.
          Kyung Soo menuntunku berjalan untuk meninggalkan pemakaman.
***
          Aku tersenyum ketika Kyung Soo akan membuka perban yang terpasang di mataku. “ Airin-ahh, beritahu aku kalau kau bisa melihat, arra?” aku mengangguk. Perban di mataku sudah terbuka dan aku bisa melihat. Benar aku bisa melihat.
          “ Kai?” aku menyentuh pipi Kyung Soo yang lebih terlihat sebagai seorang Kai di mataku.
          “ Aniyo, aku Kyung Soo.” Ia memasang senyumnya lalu memegang tanganku.
          “ Mian, kau terlihat seperti Kai di mataku.” Aku tersipu malu.
          “ Itu artinya aku tampan.” Jawabnya sambil tersenyum tidak jelas. “ Airin, apa aku bisa menggantikan Kai untukmu?” Ia menatapku dalam sambil mengeluarkan cincin dari jasnya.
          “ Kita baru saling mengenal.” Aku semakin tersipu.
          “ Tapi aku benar-benar mencintaimu.” Lanjutnya lagi sambil menyunggingkan senyumnya.
          “ Gurrae, aku akan berusaha mencintaimu.” Jawabku. Tanpa disuruh aku langsung mengecup pipi Kyung Soo hangat.

~~FINISH~~

Tuesday 18 February 2014

I Can't Let You Go

I Cant let you go
Author            : JongYi Hope Angel (I.)
Title                : I Can’t Let You Go
Genre             : Romance, sad
Length            : Oneshoot
Main Cast      :
*     Park Ah Rin aka Airin
*     Wu Yi Fan aka Kris
Other Cast     : Find it with yourself^^
Disclaimer      : Don’t copast if you take it without any credit! Inspiration isn’t come easily! Happy reading, sista!
“ You are the one who can make me can’t breath.” – Wu Yi Fan
Park Ah Rin POV
            Aku terus melangkahkan kakiku dengan malas. Entah kenapa aku sangat malas untuk datang ke sekolah akhir-akhir ini. Aku tidak tahu apa yang membuatku sangat malas melihat lelaki itu di sekolahku. Mungkin karena aku menyukainya jadi aku sangat membencinya.
            Dia selalu menjadi orang pertama yang datang kepadaku ketika aku sedang bersedih. Dia selalu duduk di sampingku dengan wajah dinginnya untuk mendengar cerita-ceritaku yang tidak penting sama sekali. Dialah satu-satunya lelaki yang dengan berani melindungiku dari segala bahaya. Tetapi aku membencinya.
            Entah apa yang membuatku membenci orang yang sangat kusayangi itu. Entah kenapa aku malah membencinya, padahal kesalahan ini bukanlah kesalahannya sama sekali. Tapi aku harus membencinya dan melupakannya.
            “ Berjalan sendiri? Tidak takut?” Tiba-tiba suara itu terdengar lagi di telingaku.
            Tanpa membalasnya sama sekali, aku langsung melangkah pergi meninggalkan dirinya yang sepertinya ingin akrab lagi denganku. Aku menatap jalanan sambil mendengus dan menendang segala apapun yang ada di depanku. Kenapa harus aku yang merasakan hal seperti ini? Aku terus mengucapkan kata itu sampai gedung besar tempatku menuntut ilmu terlihat.
            Aku berjalan memasuki lorong kecil. Kelas pertama, kelas kedua, dan kelas ketiga. Di kelas ketiga mataku menangkap lelaki yang ternyata sudah berada di kelas sebelum aku. Aku terus melangkah sampai kelas keenam tempat kelasku berada.
            Dari belakang terdengar suara langkah kaki pelan. Mungkin dia Suho – ketua kelas – yang selalu datang pagi untuk melihat keadaan kelas. Tetapi perkiraanku salah. Baru aku menaruh tasku di bangkuku, sebuah tangan yang lebih besar dari tanganku itu langsung menarikku. Langkahnya terkesan sangat tergesa-gesa, wajahnya sangat dingin sehingga membuatku takut sendiri.
            Rambutku yang terurai tertabrak oleh angin, wajah terkejut yang dari tadi kututup-tutupi terpancar begitu saja. “ Lepaskan aku.” Pintaku dengan suara yang tegas.
            “ Ikuti aku.” Ucapnya lebih tegas dariku.
            Air mataku mengalir begitu saja karena rasa takutku yang lebih besar. “ Kris Oppa, jebal.” Ucapku tiba-tiba sambil menghentikan langkahku sendiri.
            “ Kau menangis?” Ia memegangi pipiku yang sudah penuh dengan air mataku. “ Tanganmu sakit?” Ia menggenggam tanganku lembut.
            “ Lepaskan.” Aku menarik tanganku dari tangan besarnya.
            Aku melangkah pergi dengan air mata yang terus mengalir dari mataku. Aku tidak tahu untuk apa aku menangis, yang jelas aku sangat ingin menangis sekarang. “ Airin wae? Neo nae yeojachingu! Kenapa kau selalu menghindariku?” teriaknya yang membuatku menghentikan langkah kakiku.
            Aku sangat ingin menjawab pertanyaannya yang sangat mengganjal hatiku. Tapi aku sudah terlanjur menangis sehingga aku tidak bisa melepaskan suaraku sama sekali. “ Apa kau sudah tidak menyayangiku?” Tanyanya sambil memegang tanganku dari belakang.
            Tiba-tiba ia memelukku dari belakang. “ Oppa, hentikan!” teriakku. “ Aku menbencimu! Aku sangat membencimu! Kenapa aku tidak bisa menyayangimu dengan sesungguhnya sebagai kekasihku, bukan Oppaku? Wae?” Aku benar-benar menangis setelah bisa melepaskan pelukannya.
            “ Airin~ Ini bukan kemauanku.” Kris mengatakan dengan suara lemahnya.
            Aku langsung berlari pergi, teman-teman kami yang dari tadi menatap kami memasang wajah mereka yang seolah-olah akan menerkamku. Aku ketakutan, semua isi hatiku yang selama ini kutahan dalam hatiku keluar dengan kasarnya.
Wu Yi Fan POV
“ Airin~ Ini bukan kemauanku.” Ucapku sedikit lirih ketika aku mengingat kejadian beberapa malam lalu.
            Aku berjalan lunglai sambil terus mengingat kejadian itu. Wajah Airin yang ditekuk waktu itu, masih bisa terlihat olehku kalau ia menangis. Berkali-kali juga aku meminta Appa untuk menghentikan keinginannya, Appa anak kecil yang kau bilang akan menjadi adikku itu kekasihku. Tetapi berkali-kali juga ia menghiraukan pembicaraanku dan langsung mengalihkan pembicaraannya.
            Aku duduk di bangkuku lalu mengambil ponsel yyang tadi kutaruh di bawah mejaku. Aku menatap lekat yeoja yang menjadi wallpaper ponselku itu dalam. Bagaimanapun juga aku tidak bisa membiarkan dia membenciku karena menyayangiku. Aku masih menatap ponselku, kali ini aku mengirimkan pesan untuk Airin yang bisa kuyakini sedang menangis sekarang. ‘Uljjimma, aku terlalu menyayangimu, jangan perintahkan aku untuk membencimu. Aku akan memperjuangan perasaanku~” ketikku sambil tersenyum tidak jelas.
            Selama pelajaran hari ini, aku tidak bisa konsentrasi sama sekali. Wajah Airin tercetak jelas di pikiranku. Senyum yang dulu selalu terpasang untukku, tawa yang selalu keluar ketika ia menatap wajahku, pipinya yang sedikit chubby dengan sedikit rona merah terus membuatku tidak bisa belajar sama sekali.
            Di rumahpun, aku terus menatap bingkai-bingkai foto yang dipenuhi dengan foto Airin. Appa baru pulang dari kantornya dan menyiapkan kopinya sendiri di dapur. “ Appa, bisakah aku bicara padamu sebentar?” aku menatap Appa dengan kemejanya yang berantakan.
            “ ceritakan saja.” Balasnya setelah menaruh cangkir putih kecilnya di meja depanku.
            “ Appa, apa kau menyayangi aku?” tanyaku dengan suara sedikit bergetar.
            “ Kau anakku satu-satunya.” Jawabnya singkat.
            “ Bisakah kau membiarkan aku merasakan cinta dari yeoja yang aku sayangi?” Tanyaku lagi sambil memegangi tanganku sendiri yang sangat dingin.
            “ Tentu kau boleh. Tidak ada yang melarangmu.” Dia masih membalasku dengan jawaban yang sangat singkat.
            “ Appa, aku masih menyayangi Eomma, jangan mencari Eomma baru untukku.” Aku menahan air mataku yang hamper keluar.
            “ Tapi Appa sangat mencintai Eomma barumu.” Dia menjawab dengan tatapan serius sekarang.
            “ Kau sudah tidak mencintai Eomma?” Aku menangis setelahnya. “ calon adikku adalah orang yang sangat kucintai, Appa.” Aku masih menangis.
            “ Tentu saja aku sangat menyayanginya. Itu suatu hal yang bagus, sehingga ketika kami sudah menikah nanti, kalian sudah sangat akur.” Dia menjawab sambil meminum kopi yang dibuatnya tadi.
            “ Justru karena perasaan kami, dia tidak bisa menerimaku sebagai Oppanya. Appa, kumohon.” Aku menangis dan langsung berlalu ke kamarku.
            Aku melepas kaos yang kupakai ke sembarang tempat. Aku menatap diriku yang terlihat lemah di cermin sambil tertawa tidak jelas.
Park Ah Rin POV
            Aku memotong bawang Bombay asal, mungkin masakan yang kubuat sekarang tidak akan terasa enak. Tanganku tersisik sedikit, perih namun tidak kurasa sama sekali. “ Airin, gwaenchana?” Eomma memegang tanganku dan meniup lukaku.
            Eomma membawaku ke ruang makan dan mengambil obat di kotak P3K. “ Teriak jika itu membuatmu merasa sakit.” Eomma memakaikan hansaplast berwarna merah jambu dengan gambar-gambar hewan. Aku menatap Eomma, tetapi aku malah mengingat wajah Kris ketika aku mengingat kejadian malam itu.
            “ Eomma, kau tahu Kris Oppa?” Tanyaku sambil menggenggam tangan Eomma.
            “ Calon kakakmu? Dia sangat tampan bukan?” Eomma menatapku yang justru membuatku ingin menangis sekencang-kencangnya.
            “ Sangat tampan.” Jawabku dengan nada sedikit ketus. “ Dan dia namjachinguku.” Lanjutku dan langsung berlalu pergi ke kamarku sendiri.
            Aku menatap setiap sudut kamarku yang penuh dengan coretan tangan Kris. Saranghaeyo. Tunggu lima tahun lagi, kami pasti berdiri di atas altar sana~^^ aku menatap lekat tulisan yag kubaca paling terakhir tadi. Untuk menunggu lima tahunpun itu rasanya tidak mungkin, bahkan yang berdiri di altar sana adalah orang tua kami. Aku menangis sambil memegangi dadaku. Aku melempar badanku ke spring bed yang dibalut dengan bed cover berwarna merah jambu.
            Tanganku mengambil album foto yang kutaruh di atas meja berwarna putih di samping spring bedku. Aku menatap foto-foto di dalamnya dan aku menangis lagi. Aku memeluk erat album itu Karena aku tidak ingin kehilangan Kris. Aku tidak bisa melepas Kris begitu saja, mungkin jika aku meninggalkan dunia ini aku baru bisa melepasnya. Aku terlelap dengan album yang masih kupeluk ini.
***
            Aku terbangun dengan air mata yang sudah menggenangi bantalku. Aku baru menyadari kalau di keningku terdapat kompres dengan air dingin. Eomma terlihat masih terlelap di sampingku dengan album foto Kris denganku yang terbuka lebar menjadi bantalnya. Aku melihat jam di dinding berwarna putih itu, baru jam tujuh. Aku langsung bergegas mandi dan mengambil seragamku.
            Tiga puluh menit aku mandi. Aku menutuppi wajah pucatku dengan bedak berwarna coklat kulit agar orang-orang tidak menyadari kalau aku habis menangis. Aku langsung pergi ke sekolah tanpa memberitahu Eomma, aku hanya memasang memo di kulkas agar ia tidak terlalu khawatir.
            Aku menaiki bus. Di bus aku menatap pasangan nenek dan kakek di depan kedai kopi yang sedang bercengkerama berdua. Pikiranku semakin mengawang jauh. Aku membayangkan Kris sedang duduk di sampingku sekarang, dia sedang menaruh lengannya di atas pundakku, dia sedang menggunakan headset berwarna putih pemberianku. “ Kris Oppa, jeongmal saranghaeyo.” Aku mengeluarkan kata-kata itu begitu saja.
            “ Nado.” Jawab orang yang duduk di sampingku dengan suara bassnya.
            Aku menangis, aku takut, aku sedih, aku kecewa. Kenapa suara itu terus terdengar di telingaku? Apa aku hanya bermimpi? Tiba-tiba tangan orang itu menyentuh tanganku hangat. Aku masih menangis. Dia memberikan earphone sebelah kanannya dan memasangkannya di telinga kiriku. Suara itu, lagu yang selalu kita nyanyikan berdua. “Saranghaeyo.” Ucapku dan Kris ketika lagu sudah sampai lirik terakhir.
            Aku tidak bisa menahan diriku sendiri. Aku melepas earphone itu, aku langsung memeluk lelaki di sampingku. “ Kris Oppa~” Aku menangis di pelukannya.
            Dia membelas pelukanku dan memelukku erat. Mataku tidak bisa berhenti mengeluarkan air mata karena aku benar-benar mencintainya. Jika saja tidak ada alasan untuk melepasnya, aku tidak akan pernah melepasnya.
Wu Yi Fan POV
            Aku terus memeluknya seolah-olah sudah berabad-abad tidak bertemu. Aku tidak bisa melepasnya walaupun aku mempunyai berjuta alasanpun. Air mataku keluar, tapi aku langsung menahannya. Aku lelaki, tidak seharusnya aku menangis di hadapan seorang wanita seperti ini.
            “ I love you so.” Ucapku dan semakin mempererat pelukanku.
            Badannya melemas di pelukanku. Aku melepas pelukanku, kudapati Airin sudah tak sadarkan diri. Aku langsung menekan tombol berhenti di bus. Ketika bus berhenti, aku menggendong tubuh Airin dan membawanya ke rumah sakit dengan taksi.
***
            Appa dan Eomma Airin datang untuk melihat keadaan Airin yang masih tak sadarkan diri. Aku menatap keduanya dan menunduk hormat kepada keduanya. Aku langsung pergi keluar ruangan, aku berjalan menuju kafe rumah sakit. Ternyata Appa ikut berjalan di belakangku.
            “ Appa akan membayarkan makananmu.” Appa duduk di depanku dengan membawa kopi kesukaannya.
            “ Gomawo, Appa.” Aku merunduk lagi.
            “ Kau menyayangi Airin? Kau mencintainya?” Tanya Appa dengan tatapan seriusnya. Aku langsung mengangguk tanpa berpikir sama sekali. “ Sayangi dia sebagai adikmu. Appa sangat menyayangi Eomma Airin.” Ia menjawab lagi dan langsung pergi meninggalkanku.
            Aku terdiam di bangkuku. Aku terus bertanya-tanya sendiri di pikiranku, apakah aku yang egois atau Appa yang egois? Tidak bisakah aku mencintai Airin dengan sepenuh hatiku? Tetapi aku tahu, Appa memikirkan segalanya yang terbaik untuk kami, walaupun itu sedikit menyakitkan.
            Aku berjalan lunglai menuju halte bus, aku ingin duduk dan menceritakan segala masalahku kepada Eomma di pemakaman. Aku ingin menangis di depan Eomma agar iapun tahu kalau aku sedang bersedih karena seorang wanita.
            Di pemakaman aku benar-benar menangis, aku menumpahkan seluruh perasaan yang ingin kukeluarkan sejak lama. Aku menangis sejadinya tidak peduli dengan orang-orang yang menatapku bingung. “ Eomma, apakah surga itu indah?” Aku bertanya asal. “ Bolehkah aku kesana? Aku ingin bertemu denganmu, dan mungkin aku bisa melepas Airin di sana. Bolehkah?” Aku melanjutkan perkataanku sambil mengeluarkan air mata lagi.
            Aku kembali ke rumah sakit dengan mata sangat sembab. Aku memasuki ruangan Airin, Appa dan Eomma Airin masih duduk berdua. Eomma Airin tampak masih terus menangis, apa yang terjadi dengan Airin?
            “ Appa, wae?” Aku menatap Appa meminta penjelasan.
            “ Kanker yang sudah lama bersarang di otaknya bertambah parah.” Appa menjelaskan sambil memeluk Eomma Airin.
            Aku menatap Airin yang masih tertidur, aku menghampirinya. Aku membelai rambutnya lembut, aku mencium ujung keningnya. Aku menangis ketika aku menciumnya. Aku memeluknya erat. Aku menangis ketika memeluknya.
            Tiba-tiba dadaku terasa sangat sakit. Aku memegangi dadaku yang sakit, aku menahan sesak di dadaku agar Appa tidak menyadarinya. Tetapi aku tidak bisa berbohong, “ Appa, napasku begitu menyakitkan.” Ucapku dengan napas terengah-engah.
            “ Kris-ahh, asmamu kambuh?” Appa langsung menahan badanku yang sedikit lemas.
            Eomma Airin memelukku dan membuat badanku tertidur di sampingnya. Appa pergi keluar sepertinya ia akan mengambilkan alat bantu napasku. Pelukan Eomma Airin begitu lembut, “ Eomma~” Mulutku mengeluarkan kata-kata tanpa aku perintah sama sekali.
            Eomma Airin merapikan poni yang menghalangi mataku. Dia memelukku hangat seperti Eomma memelukku dulu. Appa datang dan langsung memasangkan alat bantu napasku. Napasku terasa lebih nyaman lagi sekarang.
***
            Hari ini aku datang ke rumah sakit untuk menemani Airin yang sudah sadarkan diri. Aku menghabiskan waktu bersamanya. Pertama, ia mengajakku untuk bercengkerama di taman rumah sakit. Kami membicarakan banyak hal, dari hal penting sampai tidak penting.
            Esoknya aku datang ke rumah sakit lagi. Aku membawakan kue ulang tahun dengan warna merah jambu kesukaannya. Hari ini ia berulang tahun tepat di umur ketujuh belas. Ia tampak gembira, begitu juga Appa dan Eomma.
            Hari ketiga kami kabur dari rumah sakit dengan bantuan Appa dan Eomma. Kami pergi ke tempat biasanya kami pergi. Ia tertawa lepas meskipun wajahnya sangat pucat. Aku ikut tertawa bersamanya.
            Hari ketujuh, Airin mengajakku untuk mengobrol berdua. Sepertinya suatu hal yang sangat penting. “ Oppa, sepertinya aku bisa menerimamu sebagai Oppaku. Biarkan mereka berdua bahagia.” Airin menggandeng tanganku. “ Jika aku pergi, kau harus melepasku agar kau tidak menangis. Arraseo?” lanjutnya mempererat gandengannya.
            Hari kedelapan aku tidak ke rumah sakit. Aku harus berlatih untuk pentas di sekolah nanti. Tetapi Airin, Appa, dan Eomma menontonku latihan.
            Minggu keempat aku pentas di sekolah. Airin, Appa, dan Eomma menyaksikan penampilanku. Meskipun rambut Airin sudah habis karena kemotherapy, ia tetap menyemangatiku dengan suara lembutnya. Di mataku ia tetap yeoja tercantik yang pernah aku kenal.
            Ketika kami hendak pulang dari sekolah, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan dua yeoja dengan sedikit berbisik. “ Bukankah Kris Oppa sangat tampan? Kenapa ia begitu mencintai Airin? Lihatlah dia, mengkhawatirkan.” Aku menarik lengan yeoja yang tadi menghina Airin.
            “ memang aku tampan. Kenapa aku begitu mencintai Airin? Karena dia adikku!” Ucapku kencang.
            Airin langsung menarikku. Di mobil, Airin menatapku dengan puppy eyes yang dibuat semanis mungkin olehnya. “ Mwoya?” Aku merasa terusik dengan tatapannya itu.
            “ Kris-ahh, kau terlihat sangat tampan tadi.” Eomma menatapku sambil tersenyum bahagia.
            “ Gomawo, Eomma.” Balasku sambil merangkul Airin agar ia menghentikan puppy eyesnya.
            “ Seperti Appanya bukan?” Appa mengeluarkan suara.
            “ Airin, apa yang kau mau? Eoh?” Aku masih terusik dengan tatapannya.
            “ Ucapkan yang kau katakan pada Hyemi tadi sekali lagi.” Airin merangkulku dengan tatapan meminta.
            Aku menarik napas untuk mengulang setiap perkataan yang kuucapkan tadi, “ Aku mencintai Airin karena ia adikku. Kau puas?” Aku menghentikan perkataanku dan menggunakan earphoneku.
***
            Tiba-tiba keadaan Airin melemah. Tetapi tangannya masih menggenggam tanganku erat. Eomma langsung memanggil dokter. Aku masih duduk dan menatap Airin dalam. Airin terlihat sangat cantik sekarang, senyumnya masih memancar walaupun ia kesakitan, air matanya terus mengalir menahan rasa sakit yang ia rasakan.
            Aku, Appa, dan Eomma dipaksa keluar ruangan. Dokter akan segera mengambil tindakan kepada Airin. Di luar ruangan aku tidak bisa duduk tenang. Aku mengintip Airin dari balik jendela. Mataku menangkap monitor yang menunjukan kalau sudah tidak ada kehidupan pada raga Airin. Aku semakin ketakutan, aku kembali duduk di samping Eomma. Tapi aku tidak bisa berdiam diri, aku menatap Airin dari jendela lagi. Appa memegang tanganku dan menyuruhku untuk duduk dengan tenang. Aku duduk dengan pikiran yang sangat kacau.
            Dokter keluar dengan wajah yang bisa menggambarkan suatu kesedihan. Aku langsung masuk ke dalam ruangan. “ Airin sudah pergi, Kris-ahh.” Appa menepuk pundakku agar aku sadar dari lamunanku.
            Aku menggenggam tangan kecil Airin. Seorang yeoja yang dulu aku cintai sebagai kekasihku, dan kini aku menyayanginya sebagai adikku benar-benar pergi dari kehidupanku. Aku menahan tangisku dengan menggigit bibirku, tapi aku tidak bisa menahannya sama sekali. Aku menangis dengan sangat kencang.
            “ Kris-ahh, kau harus baca ini.” Appa menyerahkan sepucuk kertas berwarna merah jambu dari tangannya.
###
            Kris Oppa, uljjimma~ Aku benar-benar mencintaimu. Semua orang pasti akan pergi ke dunia lain pada waktunya. Dan sekarang adalah waktunya aku untuk pergi. Semoga aku bisa pergi ke surga dan menemui Eommamu. Aku akan mengatakan pada Eommamu bahwa aku sudah bertemu dengan malaikat kecilnya yang berwajah sangat tampan. Dan aku akan memberitahunya, kalau Appamu sangat mencintainya.
            Kris Oppa, kau di sana? Hentikan tangismu karena aku mencintaimu. Berjanjilah padaku kau akan melepasku. Aku tahu kau sangat mencintaiku. Karena itu, agar aku bahagia kau harus bahagia juga. Oppa, aku sudah mencintaimu seumur hidupku. Entah sebagai kekasihku atau sebagai Oppaku. Oppa, kau tidak boleh lemah hanya karena aku. Aku lemah bukan karenamu kan? Atau aku harus menghubungi temanku Tao, agar kau bisa wushu? Oppa, jangan lemah.
            Kris Oppa, apakah kau benar-benar mencintaiku? Kalau begitu, biarkan Eomma dan Appa mengikat janji suci di atas altar sana. Eomma orang yang baik, jadi kau bisa menganggap Eommaku sebagai Eommamu juga. Katakan pada Appamu, kalau aku sangat menyayanginya! Appa orang yang sangat baik, dia sangat mirip denganmu. Aku mencintai kalian~
            Kau ingat, aku mempunyai anjing kecil dengan pita berwarna merah jambu di rumah? Itu pemberianmu kan? Jagalah dia, aku mohon. Aku mencintainya juga. Katakan pada teman-teman di sekolah, kalau aku ini adikmu. Aku mohon~^^
            Oppa, uljjimma. Jeongmal saranghaeyo.
###
            Aku menangis lalu menatap Appa dan Eomma yang berada di belakangku. Eomma sedang menangis dengan kencangnya melepas kepergian anaknya. Aku tidak tahan melihat tangis Eomma, aku langsung memeluk Eomma agar ia tidak menangis lagi. “ Eomma, saranghae~” Aku membisikan kata-kata itu di telinganya.
***
            Dua pasangan dengan tuxedo dan gaun berwarna putih itu menaiki altar dengan senyuman yang sangat bahagia. Aku menatap keduanya bahagia juga dari tempatku duduk. Appa dan Eomma akan mengikat cinta mereka hari ini dengan janji sehidup semati.
            Aku menatap piano putih, yang kuingat alat musik kesukaan Airin. Entah ini adalah khayalanku atau bukan, aku melihat sosok Airin sedang memainkan piano dengan sangat gembira. Aku tersenyum, ia juga tersenyum. Airin, aku mencintaimu walaupun aku berat melepasmu.
~~ FINISH ~~